Era otonomi daerah saat ini melaksanaan
pembangunan desa yang meliputi segi
kehidupan, baik politik, ekonomi, dan sosial budaya akan berhasil apabila solidaritas
sosial tetap terpelihara dan melibatkan partisipasi masyarakat secara bottom up (dari atas ke bawah). Yaitu
bagaimana mendorong kekuatan masyarakat dari bawah menjadi kekuatan pembaharuan
menuju keeadaan kondisi yang lebih baik dalam upaya mendorong keberhasilan
pembangunan.
Konsep solidaritas sosial merupakan konsep
sentral Emile Durkheim (1858-1917) dalam mengembangkan teori sosiologi.
Durkheim (dalam Lawang, 1994:181) menyatakan bahwa solidaritas sosial merupakan
suatu keadaan hubungan antara individu dan/atau kelompok yang didasarkan pada
perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh
pengalaman emosional bersama. Solidaritas menekankan pada keadaan hubungan
antar individu dan kelompok dan mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan
dengan didukung nilai-nilai moral dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat.
Wujud nyata dari hubungan bersama akan melahirkan pengalaman emosional,
sehingga memperkuat hubungan antar mereka.
Solidaritas sosial juga dapat diartikan sebagai
wujud kepedulian antar sesama kelompok ataupun individu secara bersama yang
menunjukkan pada suatu keadaan hubungan antara indvidu dan atau kelompok yang
di dasarkan pada persamaan moral, kolektif yang sama, dan kepercayaan yang
dianut serta di perkuat oleh pengalaman emosional (Johnsn, 1981). Solidaritas
sosial dapat terjadi karena adanya berbagai macam kesamaan ras, suku dan adanya
perasaan yang sama sehingga mereka mempunyai keinginan kuat dalam memperbaiki
keadaanya dan daerah ataupun lingkungan sekitarnya agar mereka bisa sedikit
memperbaiki keadaan di sekitarnya dengan cara saling membantu satu sama lain
terutama dalam hal pembangunan. Solidaritas sosial juga dipengaruhi adanya
interaksi sosial yang berlangsung karena ikatan cultural, yang pada dasarnya
disebabakan munculnya sentiment komunitas (community sentiment).
Menurut
Redfield sentiment komunitas mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
1.Seperasaan,
yaitu karena seseorang berusaha mengidentifikasi dirinya dengan sebanyak
mungkin orang dalam kelompok tersebut sehingga kesemuannyaa dapat menyebutkan
dirinya sebagai kelompok kami (warga).
2.Sepenanggungan,
yaitu setiap individu sadar akan peranannya dalam kelompok yanag dijalankan.
3.Saling
butuh, yaitu individu yang tergantung dalam masyarakat setempat merasakan
dirinya tergantung pada komunitasnya meliputi fisik maupun
psikologinya.
Dari hal-hal di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa solidaritas sosial terjadi karena beberapa faktor di atas sehingga dalam
bersolidaritas benar- benar memliki rasa untuk saling tolong-menolong satu sama
lain dengan didasarkan atas 3 persamaan di atas. Sedangkan faktor lain dari
terbentuknya solidaritas sosial adalah adanya interaksi yang menjadi faktor
utama dalam bersolidaritas sosial terutama dalam hal pembangunan., karena jika
di dalam solidaritas sosial tidak ada atau mengalami kegagalan interaksi akan
menghambat terjadinya solidaritas sosial.
Salah satu sumber solidaritas adalah gotong
royong , istilah gotong royong mengacu pada kegiatan saling menolong atau saling
membantu dalam masyarakat. Tradisi kerjasama tersebut tercermin dalam berbagai
bidang kegiatan masyarakat diantaranya adalah : kegiatan dalam membangun rumah,
memperbaiki sarana umum, mengadakan hajatan, dalam bencana alam kematian dll.
(Sajogya, 2005 : 28)
Solidaritas sosial sangat diperlukan di dalam
masyarakat, terutama masyarakat kota. Karena pada umumnya masyarakat kota
mempunyai tigkat kesibukan yang tinggi serta mempunyai kesenjangan antara warga
satu dan warga lain, sehinggajarang
dari mereka mengetahui keadaan para tetangga mereka bahkan apabila ada
tetangganya yang sakit jarang dari mereka yang mengetahui. Kebanyakan dari masyarakat
kota khususnya warga perumahan tidak pernah tahu siapa-siapa para tetangga yang
ada di sekitar rumahnya yang mereka tahu hanya mencari uang.
Berbeda dengan masyarakat desa. Mereka selalu
mencoba memupuk rasa persudaraan antara warga dengan mengadakan berbagai macam
kegiatan- kegiatan yang dapat mempertemukan antara warga satu dengan warga lain,
masyarakat desa juga mempunyai tingkat solidaritas antara warga yang tinggi
karena kebanyakan dari mereka selalu mencoba meluangkan waktu agar dapat
bertemu dengan para tetangganya walaupun hal tersebut hanya saling menyapa.
Berikut ini adalah berbagai macam bentuk
solidaritas sosial yang kebanyakan dilakukan oleh masyarakat desa, diantaraanya
adalah :
1.Kegiatan Soyo,
yang biasanya di terapkan saat ada salah satu warganya yang sedang membangun
rumahnya. Biasanya para warga berdatangan tanpa diundang.
2.Kegiatan
Tahlilan kematian, hal ini dilakukan apabila ada salah satu anggota keluarga warga yang
meninggal dunia, para warga
berdatangan untuk menyumbangkan do’a.
3.Kegiatanbersih desa yang dilakakan sebagai ucapan
syukur para warga karena telah mendapatkan hasilpanen yang
memuaskan, dan berharap agar hasil panen tersebut melimpah ruah.
4.KegiatanBaksos (Bakti Sosial) dilakukan untuk membantu para warga yang
tidak mampu dan benar-benar membutuhkan.
5.Kegiatan
Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), untuk
para warga masyarakatyang
mempunyai balita agar anak- anak mereka mendapatkan asupan gizi yang seimbang.
6.Balai
pengobatan gratis dikhususkan untuk para warga yang belum mampu berobat di tempat yang belum bisa mereka
jangkau. Agar kesehatan para masyarakat lebih terjamin.
Sedangkan
bentuk solidaritas yang diterapkan oleh masyarakat kota, cenderung pada bentuk-bentuk
solidaritas dalam komunitas hobi atau pekerjaan. Contohnya saja komunitas
pencinta sepeda gunung yang mengadakan acara bersepeda bareng dihari Minggu,
atau juga komunitas istri pengacara yang mengadakan acara arisan disetiap malam
Minggu hingga larut malam.
Dapat disimpulkan bahwa solidaritas merupakan
alat yang seharusnya dijadikan anggota masyarakat sebagai alat untuk memupuk
rasa persaudaraan antar anggota masyarakat. Dengan adanya solidaritas
masyarakat menjadi lebih bisa mengerti keadaan sesama warga, selain itu mereka
juga bisa saling tolong menolong antara warga masyarakat. Di dalam
bersolidaritas sosial juga sangat diperlukan sekali interaksi sosial karena pada
umumnya saat melakukan solidaritas sosial kita sudah melakukan interaksi sosial
pula, dan rasanya sangat tidak mungkin apabila dalam bersolidaritas tidak ada
sama sekali interaksi di dalamnya yang terjadi antar sesama anggota masyarakat,
sehingga apabila solidaritas sosial telah terjadi maka secara tidak langsung
telah terjadi interaksi sosial di dalamnya.
B.Solidaritas Sosial dalam
Pembangunan
Solidaritas sosial sangat
berpengaruh penting terhadap pembangunan karena dalam solidaritas terdapat
hubungan saling membutuhkan dengan rasa gotong royong sehingga adanya rasa
saling membantu antara satu dengan lainnya. Pembangunan yang terjadi baik di
desa maupun di kota tak dapat berjalan baik tanpa adanya rasa solidaritas
sosial di kalangan masyarakat sendiri. Tetapi rata-rata masyarakat kota masih
kurang memiliki rasa solidaritas sosial dikarenakan karena cara hidup masyarakat
perkotaan yang individual dan acuh terhadap lingkungan.
Rasa solidaritas sosial
kini sudah mulai pudar tergerus oleh pergantian zaman globalisasi, terutama
untuk daerah perkotaan, tetapi tidak hanya perkotaan saja desa-desa yang
terkenal dengan sikap gotong royong dan teposlironya pun juga sudah mulai
tergeser dari daerah masing-masing. Ada desa yang masih menjalankan gootng royong
dalam pembuatan rumah, tempat ibadah, maupun tempat-tempat umum lainnya, tapi
jika ditelisik lebih dalam gotong royong yang masyarakat lakukan selama ini
adalah karena dalam hal tersebut seseorang akan mendapatkan upahnya. Tetapi
juga masih ada juga masyarakat yang gotong royong tanpa pamrih seperti di Desa
Mentaraman Kecamatan Donomulyo Kabupaten Malang.
Masyarakat Mentaraman selalu bergotong
royong dalam setiap pembangunan yang ada di desa Mentaraman, Jika Emile
Durkheim menjelaskan solidaritas sosialdapat terjadi karena adanya persamaanmoral dan kepercayaan yang dianut bersama. Hal ini juga yang mendasari
sikap gotong royong masyarakat di Desa Mentaraman. Di desa ini terdapat
akulturasiantarabudaya Jawa dan agama Islam. Masyarakat masih
percaya kepada tradisi nenek moyang secara turun temurun dan juga yang bersifat
magis/berbau klenik. Walaupun ada sebagian kaum muda yang sudah mulai tak
menghiraukan tetapi regenerasi kepercayan itu tetap terjadi di masyarakat,
sehingga rasa persamaan itu masih ada dan itulah yang memupuk solidaritas yang
terjadi di masyarakat Mentaraman,
Contoh, pada pembuatan rumah salah
seorang warga. Tetangga dan warga dusun itu akan membantu dan tidak mendapatkan
upah, hanya mendapatkan jatah makan dan minum selayaknya tukang bangunan pada
umumnya. Gotong royong ini pun juga tergantung pada warga yang butuh bantuan
tersebut. Biasanya warga akan melakukan soyo
pada saat pembuatan pondasi rumah saja. Karena warga yang mayoritas petani
mempunyai kesibukan harus pergi ke sawah Tetapi warga akan membantu sampai
selesai jika orang(warga) tersebut memang benar-benar membutuhkan bantuan. Dan
ketika ada tetangga kesusahanpun, warga masyarakat juga tidak segan-segan untuk
membantu keluarga yanga sedang kesusahan. Solidaritas ini tidak hanya pada
sebatas membantu membangun rumah saja, tetapi ketika ada perbaikan jalan,
pembuatan gapura, ataupun kegiatan yang membutuhakan kerjasama lainnya maka
masyarakat akan antusias membantu. Kegiatan gotong royong ini berlangsung
bergantian siapa yang butuh di bantu. Dan setiap hari tertentu akan di adakan gerak’an. Yang artinya kerja bakti
secara bersama-sama pada hari tertentu, yang biasanya dilaksanakan pada hari
Minggu.
Mengingat pentingnya gotong royong dan
solidaritas sosial antar masyarakat, pemerintah juga mencanangkan Program
Nasional Pemberdayyan Masyarakat Mandiri atau yang lebih sering disebut PNPM
Mandiri. Pemerintah mengucurkan dana trilyunan demi PNPM yang jika diteliti
tujuan utamanya adalah mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan. Karena
dinilai rasa gotong royong masyarakat sudah mulai memudar.
Berbeda dengan solidaritas
yang ada di masyarakat desa, di desa gotong royong dan saling membantu antar
warga masih sebuah tradisi yang dipegang teguh oleh masyarakat. Sehingga ketika
ada tetangga yang mengalami kesusahan, tetangga-tetangga lain membantu. Seperti
yang sudah disebutkan dalam contoh di Desa Tempursari dan juga Desa Donomulyo
yang masyrakatnya masih berbudaya untuk saling membantu antar sesama. Hal ini
juga perlu diterapkan kepada seluruh masyarakat di Indonesia. Jika pembangunan
di Indonesia di landasi oleh rasa gotong royong, masyarakat akan menjadi partisipatif
ketika ada pembangunan. Apabila dikaji secara antropologis dan sosiologis budaya
gotong royong adalah budaya asli Indonesia yang sudah mulai tergusur oleh
perkembangan zaman. Pada tahun 1996 Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah
dan santun di mata Internasional. Tetapi citra tersebut juga luntur seiring
dengan berkembangnya zaman.
Sikap santun, ramah, serta
gotong royong jika tidak dilestarikan pasti akan menimbulkan sikap apatis di
kalangan masyarakat Indonesia. Adanya sikap apatis menimbulkan masyarakat yang
tidak partisipatif dan kurangmya rasa solidaritas terutama solidaritas sosial.
Dalam tinjauan teori Durkehim menyebutkan solidaritas sosial dibagi menjadi 2
yaitu (1) Solidaritas Sosial Mekanik, dan (2) Solidaritas Sosial Organik.
1.Solidaritas
Mekanik
Pandangan Durkheim mengenai masyarakat
adalah sesuatu yang hidup, masyrakat berpikir dan bertingkah laku dihadapkan
kepada gejala-gejala sosial atau fakta-fakta sosial yang seolah-olah berada di
luar individu. Fakta sosial yang berada di luar individu memiliki kekuatan
untuk memaksa. Pada awalnya, fakta sosial berasal dari pikiran atau tingkah
laku individu, namun terdapat pula pikiran dan tingkah laku yang sama dari
individu-individu yang lain, sehingga menjadi tingkah laku dan pikiran
masyarakat, yang pada akhirnya menjadi fakta sosial. Fakta sosial yang
merupakan gejala umum ini sifatnya kolektif, disebabkan oleh sesuatu yang
dipaksakan pada tiap-tiap individu. Dalam masyarakat, manusia hidup bersama dan
berinteraksi, sehingga timbul rasa kebersamaan diantara mereka.
Rasa kebersamaan ini milik masyarakat
yang secara sadar menimbulkan perasaan kolektif. Selanjutnya, perasaan kolektif
yang merupakan akibat (resultant) dari kebersamaan, merupakan hasil aksi dan
reaksi diantara kesadaran individual. Jika setiap kesadaran individual itu
menggemakan perasaan kolektif, hal itu bersumber dari dorongan khusus yang
berasal dari perasaan kolektif tersebut. Pada saat solidaritas mekanik
memainkan peranannya, kepribadian tiap individu boleh dikatakan lenyap, karena
ia bukanlah diri indvidu lagi, melainkan hanya sekedar mahluk kolektif. Jadi
masing-masing individu
diserap dalam kepribadian kolektif.
Argumentasi Durkheim, diantaranya pada
kesadaran kolektif yang berlainan dengan dari kesadaran individual terlihat
pada tingkah laku kelompok. Ketika orang berkumpul untuk berdemonstrasi
politik, huru-hara rasial atau untuk menonton sepakbola, gotong royong dan
sebagainya, mereka melakukan hal-hal yang tidak mungkin mereka lakukan jika
sendirian. Orang melakukan perusakan dan merampok toko-toko, menjungkirbalikan
mobil, atau menunjukkan sikap kepahlawanan, kegiatan religius, semangat
pengorbanan yang luar biasa, semuanya dianggap mustahil oleh yang bersangkutan.
Masyarakat bukanlah sekedar wadah untuk terwujudnya integrasi sosial yang akan
mendukung solidaritas sosial, melainkan juga pangkal dari kesadaran kolektif
dan sasaran utama dari perbuatan moral.
Moralitas merupakan suatu keinginan yang
rasional. Jadi perbuatan moral bukanlah sekedar “kewajiban” yang tumbuh dari
dalam diri melainkan juga “kebaikan” ketika diri telah dihadapkan dengan dunia
sosial. Setiap individu yang melakukan pelanggaran nilai-nilai dan norma-norma
kolektif timbul rasa bersalah dan ketegangan dalam batin. Nilai-nilai itu sudah
merasuk dalam batin dan memaksa individu, sekalipun pemaksaannya tidak langsung
dirasakan karena proses pembatinan itu untuk menyesuaikan diri. Moralitas
mempunyai keterikatan yang erat dengan keteraturan perbuatan dan otoritas.
Suatu tindakan bisa disebut moral, kalau tindakan itu tidak menyalahi kebiasaan
yang diterima dan didukung oleh sistem kewenangan otoritas sosial yang berlaku,
juga demi keterikatan pada kelompok.
Jadi, keseluruhan kepercayaan dan perasaan umum di kalangan anggota
masyarakat membentuk sebuah sistem tertentu yang berciri khas, sistem itu
dinamakan hati nurani kolektif atau hati nurani umum. Solidaritas mekanik tidak hanya
terdiri dari ketentuan yang umum dan tidak menentu dari individu pada kelompok,
kenyataannya dorongan kolektif terdapat dimana-mana, dan membawa hasil
dimana-mana pula. Dengan sendirinya, setiap kali dorongan itu berlangsung, maka
kehendak semua orang bergerak secara spontan dan seperasaan. Terdapat daya
kekuatan sosial yang hakiki yang berdasarkan atas kesamaan-kesamaan sosial, tujuannya
untuk memelihara kesatuan sosial. Hal inilah yang diungkapkan oleh hukum
bersifat represif (menekan). Pelanggaran yang dilakukan individu menimbulkan
reaksi terhadap kesadaran kolektif, terdapat suatu penolakkan karena tidak searah dengan tindakan kolektif.
Tindakan ini dapat digambarkan, misalnya tindakan yang secara langsung
mengungkapkan ketidaksamaan yang menyolok dengan orang yang melakukannya
dengan tipe kolektif, atau tindakan-tindakan itu melanggar organ hati nurani
umum.
2.Solidaritas Organik
Solidaritas organik berasal dari semakin
terdiferensiasi dan kompleksitas dalam pembagian kerja yang menyertai
perkembangan sosial. Durkheim merumuskan gejala pembagian kerja sebagai
manifestasi dan konsekuensi perubahan dalam nilai-nilai sosial yang bersifat
umum. Titik tolak perubahan tersebut berasal dari revolusi industri yang meluas
dan sangat pesat dalam masyarakat. Menurutnya, perkembangan tersebut tidak
menimbulkan adanya disintegrasi dalam masyarakat, melainkan dasar integrasi
sosial sedang mengalami perubahan ke satu bentuk solidaritas yang baru, yaitu
solidaritas organik. Bentuk ini benar-benar didasarkan pada saling
ketergantungan di antara bagian-bagian yang terspesialisasi. Pertambahan jumlah penduduk yang
menimbulkan adanya “kepadatan penduduk” merupakan kejadian alam, namun disertai
pula dengan gejala sosial yang lain, yaitu “kepadatan moral” masyarakat
(Veeger, 1985:149). Menurut Veeger, terjadinya pertambahan penduduk (perubahan
demografik) akan disertai oleh pertambahan frekuensi komunikasi dan interaksi
antara para anggota, maka makin besarlah jumlah orang yang menghadapi masalah
yang sama. Selain itu, kompetisi untuk mempertahankan hidup semakin memperbesar
persaingan diantara mereka dalam mendapatkan sumber-sumber yang semakin
terbatas. Kondisi ini selanjutnya menimbulkan masyarakat yang pluralistis,
dimana antar hubungan lebih banyak diatur berdasarkan pembagian kerja. Mereka
mulai mengadakan kompromi dan pembagian yang memberikan ruang hidup kepada
jumlah orang yang lebih besar. “Kepadatan moral” itu merupakan suatu konsep
yang tidak bercorak alami, melainkan budaya, karena manusia sendiri yang membentuk
masyarakat yang dikehendakinya. Kesadaran kolektif pada
masyarakat mekanik paling kuat perkembangannya pada masyarakat sederhana,
dimana semua anggota pada dasarnya memiliki kepercayaan bersama, pandangan,
nilai, dan semuanya memiliki gaya hidup yang kira-kira sama. Pembagian kerja
masih relatif rendah, tidak menghasilkan heterogenitas yang tinggi, karena belum
pluralnya masyarakat. Lain halnya pada masyarakat organik, yang merupakan tipe
masyarakat yang pluralistik, orang merasa lebih bebas. Penghargaan baru
terhadap kebebasan, bakat, prestasi, dan karir individual menjadi dasar
masyarakat pluralistik. Kesadaran kolektif perlahan-lahan mulai hilang.
Pekerjaan orang menjadi lebih terspesialisasi dan tidak sama lagi, merasa
dirinya semakin berbeda dalam kepercayaan, pendapat, dan juga gaya hidup.
Pengalaman orang menjadi semakin beragam, demikian pula kepercayaan, sikap, dan kesadaran
pada umumnya. Heterogenitas yang semakin
beragam ini tidak menghancurkan solidaritas sosial. Sebaliknya, karena
pembagian kerja semakin tinggi, individu dan kelompok dalam masyarakat merasa
semakin tergantung kepada pihak lain yang berbeda pekerjaan dan
spesialisasinya. Peningkatan terjadi secara bertahap, saling ketergantungan
fungsional antar berbagai bagian masyarakat yang heterogen itu mengakibatkan
terjadi suatu pergeseran dalam tata nilai masyarakat, sehingga menimbulkan kesadaran
individu baru.
Bukan pembagian kerja yang mendahului
kebangkitan individu, melainkan sebaliknya perubahan dalam diri individu, di
bawah pengaruh proses sosial mengakibatkan pembagian kerja semakin
terdiferensiasi. Kesadaran baru yang mendasari masyarakat modern lebih
berpangkal pada individu yang mulai mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok
yang lebih terbatas dalam masyarakat dan mereka tetap mempunyai kesadaran
kolektif yang terbatas pada kelompoknya saja, contohnya yang sesuai dengan
pekerjaannnya saja. Corak kesadaran kolektif lebih bersifat abstrak dan
universal. Mereka membentuk solidaritas dalam kelompok-kelompok kecil, dan
solidaritas tersebut biasanya bersifat mekanik. Terjadinya perubahan sosial
yang ditandai oleh meningkatnya pembagian kerja dan kompleksitas sosial, dapat
juga dilihat sebagai perkembangan evolusi model linier (Lawang, 1986:188).
Kecenderungan sejarah pada umumnya dalam masyarakat Barat adalah ke arah
bertambahnya spesialisasi dan kompleksitas dalam pembagian kerja. Perkembangan
ini mempunyai dua akibat penting. Pertama, dia merombak kesadaran kolektif yang
memungkinkan berkembangnya individualitas.
Kedua, dia meningkatkan solidaritas
organik yang didasarkan pada saling ketergantungan fungsional. Durkheim melihat
masyarakat industri kota yang modern ini sebagai perwujudan yang paling penuh
dari solidaritas organik. Ikatan yang mempersatukan individu pada solidaritas
mekanik adalah adanya kesadaran kolektif. Kepribadian individu diserap sebagai
kepribadian kolektif sehingga individu saling menyerupai satu sama lain. Pada
solidaritas organik, ditandai oleh heterogenitas dan individualitas yang
semakin tinggi, bahwa individu berbeda satu sama lain.
Masing-masing pribadi mempunyai ruang gerak tersendiri untuk dirinya,
dimana solidaritas organik mengakui adanya kepribadian masing-masing orang. Karena
sudah terspesialisasi dan bersifat individualistis, maka kesadaran kolektif
semakin kurang. Integrasi sosial akan terancam jika kepentingan-kepentingan
individu atau kelompok merugikan masyarakat secara keseluruhan dan kemungkinan
konflik dapat terjadi.
C.Penerapan
Solidaritas Sosial dalam Pembangunan
Solidaritas antara
masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan dalam pembangunan. Jika membahas mengenai masyarakat,pada umumnya masyarakat memiliki hubungan satu
dengan yang lainnya dikarena fitrah dari manusia yang tidak bisa hidup sendiri atau disebut
makhluk sosial. Namun dalam pembahasan ketiga ini, akan dibahas mengenai masyarakat pedesaan dan masyarakat
perkotaan yang terkhususkan perbedaan keduanya dalam solidaritas pembangunan.
Pembahasan mengenai
masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan lebih jauh, tentulah harus dipahami terlebih
dahulu definisi dari masyarakat, desa, masyarakat pedesaan, kota, serta
masyarakat perkotaan.
Menurut
Selo Sumardjan, masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan
menghasilkan kebudayaan. Sedangkan menurut Hasan Sadily, masyarakat adalah
suatu keadaan badan atau kumpulan manusia yang hidup bersama. Berbeda dengan
Karl Marx, beliau memaparkan bahwa masyarakat adalah suatu struktur yang
menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya
pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi. Menurut
Emile Durkhaim, masyarakat merupakan suatu kenyataan objektif pribadi-pribadi
yang merupakan anggotanya. Dan dalam kamus besar bahasa Indonesia, menjelaskan
bahwa masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat
oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.
Definisi desa, dalam
Undang-undang No.5 Tahun 1979 tentang pemerintah daerah menerangkan bahwa
“desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai
kesatuan masyarakat hukum, yang mempunyai organisasi pemerintah terendah,
langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri
dalam ikatan NKRI”.Menurut Bintaro,
desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik dan
kultur yang terdapat disuatu daerah dalam hubungannya dan pengaruhnya secara
timbal-balik dengan daerah lain. Dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
desa adalah kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai
sistem pemerintahan sendiri (dikepalai oleh seoran kepala desa).
Disimpulkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, masyarakat desa diartikan sebagai masyarakat yang
penduduknya mempunyai mata pencaharian utama dalam sektor bercocok tanam,
perikanan, peternakan, atau gabungan dari kesemuanya itu, dan yang sistem budaya
dan sistem sosialnya mendukung mata pencaharian itu.
Definisi kota, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
didefinisikan sebagai daerah permukiman yang terdiri atas bangunan rumah yg
merupakan kesatuan tempat tinggal dr berbagai lapisan masyarakat; dan definisi
yang lain yakni, daerah pemusatan penduduk dng kepadatan tinggi serta fasilitas
modern dan sebagian besar penduduknya bekerja di luar pertanian.Dan untuk arti dari
masyarakat kota, bahwa msyarakat kota adalah masyarakat yang penduduknya mempunyai
mata pencaharian dalam sektor perdagangan dan industri, atau yang bekerja
dalam sektor administrasi pemerintah.
Perbedaan
masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan yakni, masyarakat desa cenderung
tidak memikirkan rasa gengsi tetapi malah memiliki kekeluargaan yang tinggi.
Contoh : kerja bakti pembangunan dan perawatan sarana umum, prosesi perawatan
jenazah dari pengkafanan hingga masuk ke liang lahat. Bahkan acara tujuh
harian, empat puluh hari, seratus hari, setahunnan, dan seribu harian. Dalam
hal pemikiranpun, masyarakat desa tidak modern terhadap teknologi-teknologi
yang berkembang pesat. Hal ini disebabkan di desa tidak memiliki sarana dan
prasarana yang memadai dikarenakan financial yang terbatas untuk mencukupi kebutuhan
hidup, karena desa bisa dikatakan hanya mencakup dari sektor pertanian yang
manjadi sumber utama untuk kelangsungan hidup mereka.
Berbeda dengan
masyarakat desa, masyarakat kota pada umumnya adalah masyarakat yang memiliki
tingkat kegengsian yang sangat tinggi, yang sulit untuk menemukan rasa
solidaritas yang tinggi, serta tingkat pemikiran, pergaulan, pekerjaan yang
mungkin berbeda dengan di desa. Hal ini bisa disebabkan karena daerah yang
lebih maju dan lebih modern dan mudah untuk mendapatkan suatu hal yang
diharapkan dan diinginkan, karena di kota semuanya serba ada. Dan merekapun
cenderung disibukkan dengan padatnya waktu mereka untuk bekerja.
Tentang solidaritas masyarakat kota,
mereka justru kurang memiliki sifat itu karena masyarakat kota hanya
mementingkan diri sendiri, atau sikap hidup yang individualis. Pergaulan dikota
lebih rentan bisa dikatakan sangat bebas dan sangat mudah ditemukan di daerah
mana saja. Pekerjaan pun di kota bisa dikatakan sangat mudah, karena berbagai pekerjaan
ada di kota tergantung kitanya saja bisa tidak mendapatkannya. Rasa kenyamanan,
ketentraman, damai pun sulit untuk ditemukan karena disebabkan masyarakat di
kota saling bersaing demi dirinya sendiri untuk mendapatkan pekerjaan, sehingga
terjadilah tindakan-tindakan yang tidak sehat.
Namun, walaupun antara masyarakat pedesaan dan
masyarakat perkotaan memiliki perbedaan, tapi pasti dibalik perbedaan tersebut
akan terdapat hubungan dan hubungan tersebut sangatlah erat. Bahkan dalam keadaan
yang wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang bersifat ketergantungan,
karena diantara keduanya saling membutuhkan. Misalkan, masyarakat kota tergantung
pada desa dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan-bahan pangan seperti
beras, sayur mayur, daging, ikan. Dan masyarakat desa juga merupakan sumber
tenaga kasar bagi jenis-jenis pekerjaan tertentu di kota misalnya saja buruh
bangunan dalam proyek-proyek perumahan, proyek pembangunan atau perbaikan
jalan raya atau jembatan.
Sebaliknya, kota juga
menghasilkan barang-barang yang akan diperlukan oleh orang desa seperti
bahan-bahan pakaian, alat dan obat pembasmi hama pertanian, minyak tanah,
obat-obatan untuk memelihara kesehatan. Di sinilah masyarakat perkotaan akan
sangat bergantung pada masyarakat pedesaan dalam memenuhi kebutuhan pangan,
dan sebaliknya, masyarakat pedesaan membutuhkan barang-barang yang diperlukan
dalam bertani dan juga diperlukan untuk keperluan mereka sendiri. Jadi antara
masyarakat desa dan masyarakat kota ada hubungan timbal balik atau simbiosis
mutualisme (saling menguntungkan).
Dalam Konflik dan Lunturnya
Solidaritas Sosial Masyarakat Desa Transisi, solidaritas sosial
adalah perasaan yang secara kelompok memiliki nilai-nilai yang sama atau
kewajiban moral untuk memenuhi harapan-harapan peran (role expectation) (Nasution, 2010). Sebab itu prinsip solidaritas sosial masyarakat
meliputi: saling membantu, saling peduli, bisa bekerjasama, saling
membagi hasil panen, dan bekerjasama dalam mendukung pembangunan di desa baik
secara keuangan maupun tenaga dan sebagainya.
Tradisi solidaritas sosial yang
telah ada pada masyarakat kita secara terus menerus harus tetap dilestarikan
dari generasi ke generasi berikutnya akan tetapi karena dinamika budaya tidak
ada yang statis, terjadilah beberapa perubahan secara eksternal dan internal.
Unsur kekuatan yang merubah adalah modernisasi yang telah mempengaruhi tradisi
solidarits sosial. Selain itu perubahan solidaritas sosial tersebut disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain: (a) meningkatnya tingkat pendidikan anggota
keluarga sehingga dapat berpikir lebih luas dan lebih memahami arti dan
kewajiban mereka sebagai manusia, (b) perubahan tingkat sosial dan corak gaya
hidup kadang-kadang menciptakan kerenggangan di antara sesama anggota
keluarga, (c) Sikap egoistik, bila seseorang individu terlalu mementingkan
diri sendiri dan keluarganya, lalu mengorbankan kepentingan masyarakat.
DAFTAR
RUJUKAN
Nasution,
Zulkarnain. 2009. Solidaritas Sosial dan
Partisipasi Masyarakat Desa Transisi . Malang: UMM Press
Sebagai Tugas Mata Kuliah Teori Perubahan Sosial dan
Pembangunan
, Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Universitas Negeri Malang
Hancurnya peradaban bangsa dimulai dari lemahnya karakter seorang
pemimpin