PEMBELAJARAN
MENURUT PAULO FREIRE
A. Sejarah
Paulo Freire
Paulo Freire adalah seorang pendidik di
negara Brazilia yang terkenal mengenai kritikannya terhadap dampak yang
ditimbulkan oleh pendidikan sekolah terhadap masyarakat luas. Freire dilahirkan
dalam keluarga kelas menengah di Recife, Brasil, pada tanggal 19 Septerber 1921.
Namun ia mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar
1929, suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya terhadap kaum miskin dan
ikut membangun pandangan dunia pendidikannya yang khas dan menjadikannya seorang
tokoh pendidikan Brasil dan teoretikus pendidikan yang berpengaruh di dunia.
Dan beliau meninggal di Sao Paulo, Brasil 2 Mei 1997 karena serangan jantung.
Freire mulai belajar di Universitas Recife
pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum, yang juga belajar filsafat dan
psikologi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah
benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut. Namun, ia bekerja sebagai seorang
guru di sekolah-sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis. Pada 1944, ia
menikah dengan Elza Maia Costa de Oliveira, seorang rekan gurunya. Mereka
berdua bekerja bersama selama hidupnya sementara istrinya juga membesarkan
kelima anak mereka.
Penghargaan yang pernah didapatkan oleh
Freire adalah: penghargaan Raja Baudouin (Belgia) untuk Pembangunan
Internasional; penghargaan bagi Pendidik Kristen Terkemuka bersama Elza,
istrinya; dan penghargaan UNESCO 1986 bagi Pendidikan untuk Perdamaian.
B. Pemikiran
Paulo Freire
Menurut Freire, pendidikan dapat dirancang
untuk percaya pada kemampuan diri pribadi (self affirmation) yang pada akhirnya
menghasilkan kemerdekaan diri. Ia terkenal dengan gagasannya tentang pendidikan
penyadaran dan pendidikan dengan pengajuan masalah, sebuah gagasan yang berasal
dari kritikannya terhadap dampak yang ditimbulkan oleh pendidikan sekolah
terhadap masyarakat luas.
Menurut Freire, sebagian besar warga
masyarakat masih bersikap masa bodoh terhadap perkembangan lingkungannya.
Kehidupan mereka masih dalam keadaan tertekan oleh tingkat sosial-ekonomi yang
rendah. Kehadiran para peserta didik dan lulusan pendidikan sekolah di
masyarakat menjadi faktor yang menyebabkan makin timbulnya masyarakat yang
tertekan ini. Dimana, seolah-olah terjadi pola interaksi antara dua kelompok
manusia di masyarakat, yaitu kelompok penekan dan kelompok yang merasa
tertekan.
Freire berasumsi, sepanjang dua kelompok
tersebut masih tetap ada, maka mereka tidak mungkin dapat berkembang secara
demokratis, kreatif, dan dinamis. Karena, kelompok penekan mungkin tidak akan
mampu untuk meningkatkan kehidupan masyarakat apabila sebagian besar warganya
masih merasa tertekan. Pihak penekan juga akan mengalami kesulitan dalam
menyadarkan masyarakat yang merasa tertekan untuk dapat mengenali masalah yang
dihadapi, berpikir kritis, dan memecahkan masalah yang timbul dalam realitas
kehidupan mereka. Sebaliknya, pada kelompok yang merasa tertekan, seakan-akan
telah terbiasa berada dalam “penjara”
kehidupan yang statis dan masa bodoh. Mereka tidak mampu untuk mengenali dan
memecahkan masalah yang dihadapinya. Suasana kehidupan masyarakat yang merasa
tertekan, yang pada umumnya menderita kemiskinan dan keterlantaran pendidikan,
serta berada dalam “kebudayaan bisu”.
Dalam Sudjana (1991) konsep mengenai
penyadaran atau conscientization digunakan untuk membangkitkan kesadaran
diri warga masyarakat terhadap lingkungannya. Kesadaran ini ditumbuhkan melalui
gerakan pendidikan pembebasan. Dimana dalam gerakan pendidikan ini, warga
masyarakat sebagai peserta didik dipandang sebagai subjek yang aktif dan berpotensi,
bukan sebuah objek yang hanya sebagai
penerima sesuatu secara pasif. Pendidikan pembebasan dilakukan dengan
menghindarkan semua faktor yang dapat menimbulkan adanya perbedaan antara pihak
penekan dengan pihak yang merasa tertekan.
Sedangkan untuk gagasan pendidikan dengan
pengajuan masalah atau problem possing
education, adalah sebuah gagasan yang dianjurkan dalam rangka mengatasi
gaya belajar yang Freire anggap sebagai pendidikan “gaya bank”.
C. Kritikan
Paulo Freire Terhadap Pendidikan “Gaya Bank”
Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di
Brazilia pada masa Freire, anak didik tidak dilihat sebagai yang dinamis dan punya
kreasi tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk menampung sejumlah
rumusan/dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya
dalam “wadah” itu, maka semakin baiklah gurunya. Karena itu semakin patuh wadah
itu semakin baiklah ia. Jadi, murid/nara didik hanya menghafal seluruh yang
diceritrakan oleh gurunya tanpa mengerti. Nara didik adalah obyek dan bukan
subyek. Pendidikan yang demikian itulah yang disebut oleh Freire sebagai
pendidikan “gaya bank”. Disebut pendidikan gaya bank sebab dalam proses belajar
mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada nara didik, tetapi memindahkan
sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan
dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Nara didik adalah pengumpul
dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya nara didik itu sendiri
yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta.
Dalam karyanya “Pedagogia do oprimido” (1970);
serta buku yang membuatnya termashur, “Pedagogy of the Oppressed”, yang terbit
tahun 1972, Freire membongkar watak pasif dari praktek pendidikan tradisional
yang melanda dunia pendidikan. Dia menganggap bahwa pendidikan pasif sebagaimana
dipraktekan pada umumnya pada dasarnya adalah melanggengkan sistim relasi
“penindasan”. Freire mengejek sistem dan praktek pendidikan yang menindas
tersebut, yang disebutnya sebagai pendidikan “gaya bank” dimana guru bertindak
sebagai penabung yang menabung informasi sementara murid dijejali informasi
untuk disimpan. Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan “gaya bank” itu
sebagai berikut: (1) guru mengajar, murid belajar; (2) guru tahu segalanya,
murid tidak tahu apa-apa; (3) guru berpikir, murid dipikirkan; (4) guru bicara,
murid mendengarkan; (5) guru mengatur, murid diatur; (6) guru memilih dan
memaksakan pilihannya, murid menuruti; (7) guru bertindak, murid membayangkan
bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya; (8) guru memilih apa yang
akan diajarkan, murid menyesuaikan diri; (9) guru mengacaukan wewenang ilmu
pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan
kebebasan murid- murid; (10) guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.
Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan
kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.
Pendidikan “gaya bank” itu ditolak dengan tegas oleh Paulo Freire. Penolakannya
itu lahir dari pemahamannya tentang manusia. Ia menolak pandangan yang melihat
manusia sebagai mahluk pasif yang tidak perlu membuat pilihan-pilihan atas
tanggung jawab pribadi mengenai pendidikannya sendiri. Bagi Freire manusia
adalah mahluk yang berelasi dengan Tuhan, sesama dan alam. Dalam relasi dengan
alam, manusia tidak hanya berada di dunia tetapi juga bersama dengan dunia.
Kesadaran akan kebersamaan dengan dunia menyebabkan manusia berhubungan secara
kritis dengan dunia. Manusia tidak hanya bereaksi secara refleks seperti
binatang, tetapi memilih, menguji, mengkaji dan mengujinya lagi sebelum
melakukan tindakan. Tuhan memberikan kemampuan bagi manusia untuk memilih
secara reflektif dan bebas. Dalam relasi seperti itu, manusia berkembang
menjadi suatu pribadi yang lahir dari dirinya sendiri. Bertolak dari pemahaman
yang demikian itu, maka ia menawarkan sistem pendidikan alternatif sebagai
pengganti pendidikan “gaya bank” yang ditolaknya. Sistem pendidikan alternatif
yang ditawarkan Freire disebut pendidikan “hadap-masalah”.
D.
Pendidikan Hadap Masalah
Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan
alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia.
Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan
hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan
realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas
dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada nara didik supaya ada
kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada
pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan
untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik. Kesadaran
tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan
menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri nara didik.
Freire membagi empat tingkatan kesadaran
manusia. Yang pertama adalah kesadaran intransitif , dimana seseorang hanya
terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam
masa kini yang menindas.
Tingkat kesadaran kedua yakni kesadaran semi
intransitif atau kesadaran magis. Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat
berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah
fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam
ketergantungan.
Tingkat ketiga adalah kesadaran naif. Pada
tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas,
tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti:
mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima
penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat
tetapi bukan dialog.
Sedangkan tingkat kesadaran yang terakhir
yakni kesadaran kritis transitif. Kesadaran kritis transitif ditandai dengan
kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu
menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu
merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat.
Bagi Freire pendidikan yang membebaskan
adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Memang ia tidak
bermaksud bahwa seseorang langsung mencapai tingkatan kesadaran tertinggi itu,
tetapi belajar adalah proses bergerak dari kesadaran nara didik pada masa kini
ke tingkatan kesadaran yang di atasnya.
Dalam proses belajar yang demikian
kontradiksi guru murid (perbedaan guru sebagai yang menjadi sumber segala
pengetahuan dengan murid yang menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada.
Nara didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan
menerima. Demikian pula sebaliknya guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru
dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan nara
didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak
dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia
adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, nara didik adalah
partisipan aktif dalam dialog tersebut. Materi dalam proses pendidikan yang
demikian tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket
tetapi sejumlah permasalahan. Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam
diskusi dialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh nara
didik dalam konteksnya sehari-hari, misalnya dalam pemberantasan buta huruf.
Pertama-tama peserta didik dan guru secara
bersama-sama menemukan dan menyerap tema-tema kunci yang menjadi situasi batas
(permasalahan) nara didik. Tema-tema kunci tersebut kemudian didiskusikan
dengan memperhatikan berbagai kaitan dan dampaknya. Dengan proses demikian nara
didik mendalami situasinya dan mengucapkannya dalam bahasanya sendiri. Inilah
yang disebut oleh Freire menamai dunia dengan bahasa sendiri. Kata-kata sebagai
hasil penamaan sendiri itu kemudian dieja dan ditulis. Proses demikian semakin
diperbanyak sehingga nara didik dapat merangkai kata-kata dari hasil
penamaannya sendiri.
E.
Pendidikan Pembebasan
Beberapa konsep Freire mengenai pendidikan
yang membebaskan dan memanusiakan adalah, pendidikan ditujukan pada kaum
tertindas dengan tidak berupaya menempatkan kaum tertindas dan penindas pada
dua kutub berseberangan dimana, pendidikan bukan dilaksanakan atas
kemurah-hatian palsu kaum penindas untuk
mempertahankan status quo melalui penciptaan dan legitimasi kesenjangan.
Pendidikan kaum tertindas lebih diarahkan pada pembebasan perasaan/idealisme
melalui persinggungannya dengan keadaan nyata dan praksis. Penyadaran atas kemanusiaan
secara utuh bukan diperoleh dari kaum penindas, melainkan dari diri sendiri.
Dari sini sang subjek-didik membebaskan dirinya,
bukan untuk kemudian menjelma sebagai kaum penindas baru, melainkan ikut
membebaskan kaum penindas itu sendiri. Pendidikan ini bukan bertujuan untuk
menjadikan kaum tertindas menjadi lebih terpelajar, tetapi untuk membebaskan
dan mencapai kesejajaran pembagian pengetahuan.
Dalam Sudjana (1991), Freire menegaskan
bahawa pendidikan yang tidak mampu membangkitkan diri pada peserta didik dan
masyarakat adalah tidak manusiawi dan karena itu, tidak usah diberi hak hidup.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pembangunan tidak akan terwujud melalui
pendidikan yang tidak membangkitkan kesadaran peserta didik dan masyarakat
terhadap dunia dan lingkungannya.
Melalui pendidikan pembebasan, penduduk yang
tuna aksara telah dapat diserahkan pada kesadaran baru tentang dirinya. Mereka
dirangsang mampu menenali keadaan lingkungannya secara kritis dan kemudian
mampu menentukan langkah-langkah yang akan ditempuh untuk mengubah
lingkungannya.
Bila pembebasan sudah tercapai, pendidikan
Freire adalah suatu kampanye dialogis sebagai suatu usaha pemanusiaan secara
terus-menerus. Pendidikan bukan menuntut ilmu, tetapi bertukar pikiran dan
saling mendapatkan ilmu (kemanusiaan) yang merupakan hak bagi semua orang tanpa
kecuali. Kesadaran dan kebersamaan adalah kata-kata kunci dari pendidikan yang
membebaskan dan kemudian memanusiakan.
F.
Daftar Rujukan
Fakih, Mansour. 2011. Paulo Freire
Tanpa Mitos: Sebuah Pengantar, (Online), (http://Paulo-Freire-Tanpa-Mitos-Sebuah-Pengantar_iBlog.mht, diakses 26 Februari 2012).
Malik, Halim. 2011. Teori Belajar Andragogi dan Penerapannya, (Online), (http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/23/teori-belajar-andragogi-dan-penerapannya, diakses 2 Februari 2012).
Sudjana, H.D. 1991.
Pendidikan Luar Sekolah – Wawasan Sejarah Perkembangan Falsafah dan Teori
Pendukung Asas. Bandung: Penerbit Nusantara Press.
Syafi’I, Agus. 2006. Freire:
Pendidikan yang Membebaskan, (Online), (http://www.mail-archive.com/majelismuda@yahoogroups.com/msg01014.html, diakses 2 Februari 2012).
Wikipedia
Berbahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas “Paulo
Freire”.
terima kasih
BalasHapusLearniseasy.com
Klo yang kesadaran,kritis,magis,naif itu di buku paulo Freire yang mana yah?
BalasHapus